Jumat, 10 Juni 2011

Penggunaan obat berlabel dan tidak berlabel

Jangan Sesat Beli Obat  

TEMPO/ Tony Hartawan
TEMPO Interaktif, Jakarta -Karena tak percaya diri atas postur tubuhnya, Endah berniat menggemukkan badan. Dengan tinggi 160 sentimeter dan berat 49 kilogram, dia merasa kurus dan kurang berisi. Dia lalu membeli obat penggemuk badan di sebuah mal di Jawa Tengah.
Obat berbentuk pil itu dia konsumsi. Hasilnya, nafsu makannya meningkat. Dia juga menjadi gampang mengantuk, sehingga bisa tertidur sepanjang hari. Rasanya seperti mabuk. "Walau mata melek, tapi susah konsentrasi," katanya. Karena mengganggu aktivitasnya, Endah menghentikan mengkonsumsi obat penggemuk itu.
Demikian pula dengan Aya, yang kelebihan berat badan. Ketika mampir di apotek berizin, oleh wanita pegawai apotik dia ditawari bermacam-macam obat peluruh lemak. Akhirnya, dia memilih salah satu obat itu. "Waktu itu, saya tidak tahu soal obat dan standar keamanannya," kata Aya.
Selain tidak memeriksa apakah obat yang dibelinya itu palsu atau asli, Aya tak memeriksa apakah ada label lolos uji edar dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) atau tidak pada kemasan obat tersebut. Lalu dia mengkonsumsi obat itu. "Berat badan turun delapan kilogram dalam sebulan," kata dia. Artinya, dalam sepekan, bobotnya susut dua kilogram. Namun, ternyata penggunaan obat itu ada efek sampingnya. Kini jantungnya sering berdetak kencang. Selain itu, keringat dingin sering keluar. Sama halnya dengan Endah, akhirnya Aya menghentikan konsumsi obat itu.
Dokter spesialisasi gizi, Dr Samuel Oetoro, MS, SpGK, menyatakan bahwa menggemukkan atau melangsingkan tubuh jangan sembarangan menggunakan obat yang dijajakan sembarangan. Penggemukan atau pelangsingan tubuh membutuhkan waktu. Obat yang dijajakan sembarangan memang bisa bekerja. "Berat badan memang susut, tapi efek sampingnya ngeri," katanya. Dengan susut dua kilogram, kata Samuel, sudah melebihi batas normal penurunan berat badan. "Normalnya, sepekan turun setengah hingga satu kilogram." Memang bobot tubuh bisa turun lebih dari angka itu. "Namun harus dengan pengawasan dokter," katanya. Jika dilakukan memakai obat sembarangan, yang keluar sebenarnya bukan lemak, tapi bisa juga cairan. Jika cairan yang keluar berlebihan, hal itu bisa membuat tulang keropos (osteoporosis).
Menurut konsultan dan pemerhati obat palsu, Weddy Mallyan, obat pelangsing atau penggemuk badan adalah salah satu obat yang kerap dipalsukan. Dua jenis obat yang juga banyak dipalsukan adalah obat yang laris (misalnya, analgesic, antibiotik, serta antidiabet) dan obat obat yang mahal.
Menurut data dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), angka pemalsuan obat di negara-negara berkembang diperkirakan mencapai 10 persen. Sedangkan di negara-negara maju, yang penegakan hukumnya kuat, diperkirakan sampai 1 persen.
Obat palsu, kata dia, adalah bagian dari obat ilegal. Selain obat palsu, yang termasuk obat ilegal adalah obat larang edar. "Obat jenis ini biasanya belum memiliki izin edar, namun sudah dipasarkan," kata dia. Obat larang edar ini bisa diproduksi oleh produsen industri dan bisa juga oleh produsen rumahan. Untuk mengetahui izin edar ini, biasanya kemasan obat ditera izin edar dari BPOM.
Tapi jangan tertipu. Pemalsu bisa jadi juga mencantumkan nomor izin edar ini pada obat palsu. Sebab, modus pemalsuan dilakukan dengan meniru kemasan aslinya dengan cara disablon. Cara lain adalah memakai kembali kemasan bekas tapi asli. Jika memakai bungkus bekas, obat palsu sulit dibedakan dengan obat yang asli. "Maka bungkus obat harus dihancurkan agar tak digunakan lagi," kata mantan Kepala Pusat Penyelidikan Obat dan Makanan di BPOM ini.
Menurut Weddy, ada tiga macam obat yang biasa dijual di pasar. Macam-macam obat ini ditandai dengan logo lingkaran berwarna. Obat dengan logo berwarna merah dan ada huruf K di dalam lingkaran adalah obat keras. Obat dengan logo warna biru berarti obat bebas terbatas. Sedangkan obat dengan logo warna hijau adalah obat bebas.
Toko atau apotek yang menjual obat harus memiliki izin. Toko obat hanya boleh menjual obat yang berlabel biru dan hijau. Sedangkan apotek bisa menjual obat berlabel biru, hijau, dan merah.
Jika obat dengan logo merah bisa didapat di toko obat, patut dipertanyakan keaslian dan efeknya. Pasalnya, obat palsu biasanya diproduksi oleh pihak yang tak memiliki keahlian dan kewenangan dalam bidang farmasi. Zat aktif pada obat itu tentu berbeda dengan obat asli. "Biasanya, zat aktifnya ada yang ditambah atau dikurangi," kata Weddy. Bahkan ada obat palsu yang isinya cuma tepung. Jika zat dalam obat palsu bertentangan (kontraindikasi) dengan penyakit, obat palsu tak hanya membuat mengantuk seperti yang dialami Endah. "Bisa jadi malah bisa mematikan." | NUR ROCHMI

Memilih Obat dengan Tepat

- Jika Anda hendak membeli obat, pastikan Anda membeli sendiri dengan mendatangi tempat menjualnya.
- Jangan membeli obat melalui Internet atau obat pesan antar. Sebab, jika sesuatu terjadi karena mengkonsumsi obat, Anda tahu siapa yang menjualnya.
- Belilah obat di apotek atau toko obat yang memiliki izin dengan apoteker yang juga mengantongi izin praktek.
- Jika membeli obat, pastikan Anda bertemu langsung dengan apotekernya.
- Baca indikasi, kontraindikasi, dan masa kedaluwarsa obat.
- Pastikan obat yang akan dibeli sudah lolos edar dari BPOM.
- Jika obat sudah habis dikonsumsi, pastikan kemasan obat (kardus atau botol) itu sudah dirusak sebelum dibuang agar tak digunakan kembali untuk praktek pemalsuan obat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar